Lajnah Siyasah HTI Sumedang

Saturday, September 23, 2006

Gerakan Islam dan Dinamika Masjid Kampus
Oleh DENNY KODRAT *

TULISAN Sudarmono Sasmono (SS) yang dimuat di harian ini Jumat (8/9) patut untuk dicermati. Setidaknya ada beberapa poin yang perlu ditanggapi di sini. Pertama, SS menyatakan bahwa pemikiran Islam Timur Tengah yang dibawa oleh pergerakan Islam seperti Hizbut Tahrir (HT) dan Ikhwanul Muslimin (IM) telah mengooptasi aktivis masjid kampus. Dengan hanya mengambil dua contoh gerakan Islam (harakah islamiyah) an sich, untuk menjelaskan kompleksitas realitas gerakan Islam dan dinamika aktivis masjid kampus, cenderung akan terjebak pada ”fallacy of generalization” atau kekeliruan dalam generalisasi.


Kedua, SS menyebutkan bahwa pengaruh gerakan Islam tersebut telah mengubah warna keberagamaan menjadi "hitam putih". Fikih bukan lagi menjadi sesuatu yang bersifat bebas, melainkan tunggal dan terikat. Hal ini yang mengakibatkan lahirnya sikap intoleransi, rigiditas dalam kehidupan, kaku, sikap mudah memfasikkan bahkan mengkafirkan orang yang berbeda sistem nilainya (paragrap 11).

Ketiga, SS menegaskan dalam bagian penutup tulisannya bahwa masjid menjadi entry point perekrutan anggota kelompok Islam garis keras sekaligus berpemikiran sesat (teroris?), disamping masjid menjadi eksklusif dan hanya terbuka bagi Muslimah yang berjilbab dan dapat membaca Alquran, tapi tidak bagi yang lainnya.

Sebagai seorang yang pernah menjadi aktivis dakwah kampus dan aktif dalam salah satu gerakan Islam yang disebut oleh SS, maka saya berkewajiban memberikan beberapa pandangan untuk meluruskan beberapa pernyataan SS.
Arus utama gerakan Islam

Kemunculan gerakan Islam di dunia Islam sejatinya merupakan respons aktif dari tuntutan Allah Swt, sebagaimana yang termaktub dalam surah Ali Imran ayat 104. Dalam ayat tersebut Allah Swt menyatakan, "Dan hendaklah ada sekelompok orang di antara kalian yang menyeru kepada al khair (Islam), menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar" Ayat inilah yang banyak digunakan sebagai landasan berdirinya gerakan Islam. Artinya, keruntuhan khilafah Islam bukanlah pemicu munculnya gerakan Islam, melainkan realitas bahwa umat Islam tidak memiliki lagi kekuatan berbentuk negara (daulah) untuk menangani berbagai urusan-urusan publiknya.

Eksistensi dan pengaruh gerakan Islam Timur Tengah sebaiknya disikapi secara positif oleh siapa pun, khususnya publik muslim, mengingat tujuan keberadaannya pun dapat dianggap mulia (sesuai tuntutan surah Ali Imran 104). Publik muslim secara nyata masih tidak berdaya menghadapi berbagai persoalan, baik yang berhubungan dengan hubungan sosial, ekonomi dan politik, serta belum menjadikan cara pandang Islam sebagai landasannya. Singkatnya, ia masih terkalahkan oleh hegemoni ide dan konsep Barat. Tuntutan untuk bangkit hanya menjadi retorika, karena tidak didukung oleh keinginan elite politiknya.

Oleh karena itu, pengaruh gerakan Islam sangatlah signifikan untuk menghapus kejumudan yang sudah lebih dari delapan puluh tahun, pasca runtuhnya Khilafah Utsmani (1924). Umat ini larut dalam stagnansi intelektual dan politik. Kita seharusnya jangan sempit memaknai keberadaan gerakan Islam, apalagi sampai terjebak dengan ego nasionalisme sempit dengan mempermasalahkan negeri asal berdirinya gerakan tersebut. Melainkan kita lebih melihat dari sisi ide dan konsep apa yang dibawanya untuk memajukan Islam dan umatnya.

Secara jujur harus kita katakan bahwa organisasi-organisasi Islam yang muncul di Indonesia sesungguhnya dipengaruhi oleh ide-ide gerakan Islam luar. Nahdlatul Ulama (NU) misalnya dipengaruhi oleh pemikiran Syekh Jamaludin Al Afghani dengan naqsabandiyah-nya. Persis dan Muhammadiyah pun sama banyak terpengaruh oleh pemikiran syekh Muhammad Abduh. Setidaknya, mereka mengikuti mazhab imam besar yang notabene berasal dari Timur Tengah. Oleh karena itu, janganlah kita terjebak dengan konsep "pribumisasi Islam" ala Gus Dur atau "Islam kontekstual" yang pernah digulirkan oleh (alm) Cak Nur, yang berakibat pada pecahnya umat Islam. Lebih jauh, sikap membeda-bedakan Islam dari Timur Tengah atau "Islam Indonesia", mirip sekali propaganda yang diutarakan George W. Bush baru-baru ini, dengan istilah "Fasis Islam".

Secara bijak seharusnya kita mengatakan bahwa gerakan Islam memiliki fungsi sebagai dinamisator para aktivis masjid, bila tidak mau disebut "kompetitor". Tentu saja dalam konteks ini, kompetitor untuk fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Ya, kompetitor dalam menyemarakkan masjid, syiar dan dakwah Islam. Tidak hanya itu, gerakan Islam merupakan aset umat dalam upaya mengubah masyarakat yang sekarang ini bias memahami mana yang haq dan yang batil.

SS sepertinya secara kurang representatif menjadikan HT dan IM-yang berevolusi menjadi PKS-sebagai contoh gerakan Islam yang turut mewarnai dakwah kampus. Sebagai seorang yang saat menjadi aktivis dakwah kampus menjadi bagian dari HT serta didukung oleh dokumen resmi, dapat saya katakan bahwa gerakan ini murni mengembangkan pendekatan intelektual dan tanpa kekerasan. Tujuannya adalah menjadikan Islam sebagai tolok ukur perbuatan (miqyasul amal) dan membentuk mahasiswa yang berkepribadian Islam. Bahwa kemudian sempat terjadi "pergesekan" dengan gerakan Islam lain, itu adalah suatu proses pendewasaan untuk memaknai keberagamaan pemikiran. Sama sekali tidak memunculkan permusuhan dan perpecahan.

Ukhuwwah Islamiyyah tetap terjaga. Aksi solidaritas menentang penyerangan Lebanon atau pornografi dilakukan secara bersama-sama dari hampir seluruh gerakan Islam, tanpa melihat simbol dan atribut seragam gerakan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa SS lebih melihat dinamika gerakan Islam lebih secara artifisial dan permukaan, tidak secara mendalam.
Ungkapan SS tentang memfasikkan, mengkafirkan, serta menciptakan kader garis keras perlu diklarifikasi lebih lanjut. Mengingat HT sempat dijadikan salah satu contohnya, disampaikan bahwa HT tidak mengenal istilah memfasikkan apalagi mengkafirkan umat Islam--yang tidak bergabung dengan HT. Malah sebaliknya, HT terus menjalin kontak dan ukhuwah dengan masyarakat dari berbagai macam level. Oleh karena itu, penjelasan SS kurang memiliki relevansi.

Bahwa kemudian ada satu atau dua gerakan Islam yang memiliki pemahaman yang disebutkan SS, sebaiknya disebutkan nama gerakan tersebut (dengan bukti dan referensi yang akurat), untuk menghindari disinformasi dan fitnah. Bila kemudian tidak disebutkan nama organisasinya, maka dapat dikatakan SS telah melakukan stigmatisasi dan hantam kromo terhadap gerakan Islam, yang tidak sedikit memiliki tujuan yang mulia. Naudzubillah min dzalik.
Saat ini umat Islam harus memiliki pemikiran yang terbuka dalam memahami eksistensi gerakan Islam. Sudah bukan saatnya lagi alergi, phobi atau bersikap tertutup terhadap realitas gerakan Islam. Sangat ironis di saat musuh-musuh Islam bersatu untuk melemahkan umat, kita masih tidak bersatu. Gerakan Islam tidak selamanya sama dengan apa yang sering diidentikkan dengan kekerasan, radikalisme, pengkafiran, dll. Gerakan Islam sejatinya lebih ditujukan sebagai kontrol sosial, di samping sebagai corong dakwah untuk mencerdaskan masyarakat. Apabila ada gerakan Islam yang anarkis, menebar teror, dan mengkafirkan sesama muslim, maka kita harus cerdas dalam memahami eksistensi gerakan tersebut. Apakah kita tidak pernah belajar dengan politik adu domba yang pernah dipraktikan Ali Murtopo untuk mendiskreditkan aktivis Islam dengan kemunculan Jamaah Imron atau Komando Jihad?
Jika tidak ada gerakan Islam, mau bagaimana negeri ini. Di saat penguasanya melakukan korupsi, kezaliman, kemaksiatan, dan mengabaikan hak-hak publik, masyarakat diam. Tidak ada yang melakukan amar makruf nahi munkar. Apabila dibiarkan, kita tinggal menunggu azab Allah Swt.

Kampanye untuk kembali kepada Islam dan syariahnya tidak lebih dari satu upaya untuk membangun bangsa yang mandiri dan kehidupan yang baik. Hal ini dikarenakan segala problematika yang muncul baik disebabkan krisis ekonomi, politik, dan sosial, lebih dikarenakan kejahatan moral. Yang mampu mengendalikan sikap dan perbuatan mereka kembali lagi kepada kesadaran beragama (spiritual awareness). Oleh karena itu, bangsa ini tidak hanya cukup memiliki pemimpin dan aparat hukum yang cerdas, melainkan mereka harus saleh. Inilah salah satu tujuan gerakan Islam dengan menjadikan pembinaan (tastqif) terhadap kader dan masyarakat untuk melahirkan calon-calon pemimpin yang shalih dan cerdas. Tentu saja untuk kepentingan semua, bukan untuk kepentingan gerakan Islam. Wallahu'alam bishawwab


*Penulis, Ketua Lajnah Siyasiyah DPD Hizbut Tahrir Indonesia Jawa Barat dan pernah menjadi aktivis dakwah kampus tahun 1998-2004.

Friday, September 22, 2006

Mewujudkan Jatinangor Sebagai Kawasan Pendidikan Berwawasan Syari’ah

Oleh : Sukma Sepriana


Sebagai kawasan pendidikan, Kecamatan Jatinangor merupakan daerah yang memiliki tingkat keragaman penduduk yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena banyaknya mahasiswa pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan negeri tetangga untuk menuntut ilmu. Realitas ini menjadikan Jatinangor sebagai tempat yang sangat potensial untuk terjadinya asimilasi antar kebudayaan.
Di sisi lain, kondisi ini justru memicu sikap permisif penduduk asli terhadap pergeseran nilai sosio-kultural setempat meski bertentangan dengan nilai-nilai agama, yang kemudian turut andil dalam menumbuh-kembangkan pola hidup hedonistik yang diperankan oleh sebagian kalangan mahasiswa.
Sebagai contoh, di Jatinangor pada saat ini akan sangat mudah menemukan perbuatan mesum –seperti berpelukan atau berciuman– di tempat umum yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi non-muhrim, tanpa ada orang yang berani menegur untuk melarang atau sekedar mengingatkan. Berdasarkan perspektif Islam, hal ini adalah suatu kemaksiatan. Dan celakanya, kemaksiatan ini dilakukan secara demonstratif oleh mereka yang menyandang gelar sebagai kaum intelektual.
Tentu saja, kondisi seperti ini bukanlah suatu cerminan yang baik bagi lingkungan pendidikan. Nuansa akademis yang seharusnya terasa kental seolah hilang ditelan gaya hidup penuh kebebasan yang dipromosikan oleh para pelaku akademis itu sendiri. Sehingga tidak aneh jika begitu banyak mahasiswa yang lebih memilih untuk bersenang-senang ketimbang mengakrabi buku pelajaran atau terlibat aktif dalam sebuah kelompok belajar. Karena suasana kondusif yang mendukung kegiatan akademis memang sulit untuk diwujudkan.
Untuk mendapatkan solusi komprehensif dari permasalahan ini, mari kita klasifikasikan penyebab masalahnya berdasarkan tiga aspek, yaitu individu, kelompok masyarakat, dan perangkat hukum.
Aspek yang pertama menyangkut individu. Ini berkaitan dengan kesadaran dari masing-masing individu untuk memosisikan dirinya secara proporsional di tengah masyarakat. Artinya setiap individu yang merupakan anggota masyarakat Jatinangor, baik pendatang maupun penduduk asli, dituntut untuk menyesuaikan perilakunya dengan standar nilai-nilai religi. Kesadaran individu inilah yang akan mendorong penampakan moralitas seseorang.
Rendahnya kesadaran pada individu masyarakat Jatinangor, terutama kalangan mahasiswa, sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku buruk yang bertentangan dengan norma agama. Selanjutnya, secara kolektif, perilaku tersebut menjadi suatu keumuman di masyarakat dan dianggap sebagai suatu hal yang lazim untuk dilakukan.
Kemudian aspek yang kedua, kelompok masyarakat. Yang dimaksud dengan kelompok masyarakat di sini ialah sebagian atau keseluruhan anggota masyarakat. Setiap anggota masyarakat yang memiliki kesadaran pada tingkat individunya harus mampu melakukan kontrol terhadap anggota masyarakat lainnya yang menyimpang dari standar nilai di atas.
Di Jatinangor, situasi seperti ini sulit sekali ditemukan karena aspek kesadaran individu yang bermasalah. Selain itu ada faktor yang mempengaruhi keberanian masyarakat untuk melakukan kontrol sosial, yaitu aspek ketiga, berkaitan dengan perangkat hukum.
Ketiadaan perangkat hukum yang terdiri dari peraturan dan sanksi tegas merupakan faktor dominan yang membuat masalah ini semakin kompleks dan berlarut-larut. Padahal keberadaan peraturan dalam hal ini sangat penting untuk mencegah pelanggaran terhadap tata nilai baku yang bersumber dari Sang Pencipta. Pada saat yang sama juga dibutuhkan sanksi untuk menghukum para pelanggar agar jera sekaligus memberi pelajaran kepada anggota masyarakat lain agar tidak mengulang pelanggaran yang sama.
Karena tidak adanya perangkat hukum, individu dengan kesadaran minim semakin merasa bebas untuk melakukan keinginannya seraya meninggalkan kewajibannya sebagai penuntut ilmu. Demikian pula halnya dengan kelompok masyarakat, yang enggan melakukan fungsi kontrol sosialnya semata-mata karena merasa tidak memiliki legalitas formal untuk menunaikannya.
Ketiga aspek masalah ini saling terkait. Oleh karena itu setiap upaya penyelesaian haruslah berorientasi pada ketiga aspek ini. Pada tataran individu, perlu diberikan pemahaman yang benar terhadap nilai-nilai agama sehingga terbentuk kesadaran dari masing-masing individu untuk berperilaku sesuai dengan standar religi.
Pada tataran masyarakat, perlu dibentuk pola kebiasaan saling mengingatkan dalam rangka ketaatan pada nilai-nilai agama. Dan pada tataran hukum, diperlukan formalisasi sistem hukum dan sanksi yang juga berbasis pada standar religi. Adanya perangkat hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat ini akan senantiasa mendorong terwujudnya kesadaran pada tataran individu serta mendukung pelaksanaan fungsi kontrol dalam masyarakat.
Hanya saja, jika memang harus ada suatu formalisasi perangkat hukum yang berstandar pada nilai agama, maka agama apa yang harus dijadikan acuan ?. Untuk menjawabnya, ada dua realitas berkenaan dengan masyarakat dan agama. Pertama, bahwa mayoritas penduduk Jatinangor, Sumedang, bahkan Indonesia, beragama Islam. Akidah Islam menuntut pemeluknya untuk melaksanakan aturan Islam di semua lini kehidupan, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, bahwa Islam sebagai ideologi tidak hanya mengatur hubungan vertikal manusia dengan Sang Khalik, tapi juga memiliki syari’ah yang mengatur interaksi antar manusia dalam kehidupan. Terlebih lagi Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum yang meliputi ilmu sosial, sains dan teknologi. Oleh sebab itu, maka wajarlah apabila syari’ah Islam menjadi sandaran bagi kebijakan untuk mewujudkan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan yang kondusif, bernuansa akademis dan religius.
Akhirnya, diperlukan keseriusan semua pihak untuk merealisasikan konsep Jatinangor yang bercitra kawasan pendidikan berwawasan syari’ah. Aparat pemerintahan dan segenap anggota masyarakat Jatinangor perlu bahu-membahu untuk menjadikan daerah ini sebagai pusat penggemblengan generasi-generasi masa depan yang cerdas dan berkepribadian Islam. Bersama kita bisa, insyaAllah !.
Penulis adalah Mahasiswa Muslim Universitas Padjadjaran dan Ketua Lajnah Maslahiyah HTI Daerah Sumedang

Tumpang Tindih Tupoksi Antar SKPD Di Sumedang dan Kiat Islam Dalam Mengatasi Masalah-Masalah Administrasi


Baru-baru ini sebagaimana yang dilansir beberapa media lokal telah terjadi pengambilalihan pendataan penduduk oleh Badan Kesatuan Bangsa (BKB) Sumedang. Menurut H. Sambas, kepala BKB Sumedang, Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan (Disnakerduk) belum mengambil langkah pendataan penduduk untuk kepentingan Pilkada 2008 (Priangan, 29-30/8/2006). Walaupun tidak mempermasalahkan pengambilalihan tugas pendataan tersebut, H. Soenaryo sebagai Kepala Disnakerduk, memprotes pernyataan H. Sambas. Menurut Soenaryo, pendataan mengenai kependudukan merupakan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Disnakerduk. Satu hal penting yang perlu kita cermati dalam masalah ini ialah terjadinya tumpang tindih tupoksi. Fenomena tumpang tindih tupoksi di Sumedang bukan hanya terjadi antara Disnakerduk dan BKB saja, tetapi juga terjadi antar berbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) lain yang ada di Pemkab Sumedang. Dalam urusan asuransi Kades misalnya, Pemerintah desa dengan BPMKS sama-sama ingin menggarapnya. Buktinya, menurut Ir. Edi Askhari (Ketua Pansus KUA dan Ketua Harian Pangar DPRD Sumedang), kedua SKPD tersebut sama-sama mengusulkan anggaran untuk urusan asuransi Kades. Selain itu, dana pembinaan pengusaha juga diusulkan dua SKPD sekaligus, yakni bagian ekonomi dan Disperindag. (Priangan, 31/08-01/09/06)

Penyebab dan Solusinya Dalam Islam

Paling tidak kita akan menjumpai tiga kemungkinan penyebab terjadinya fenomena tumpang tindih tupoksi ini, antara lain: (1) Ketidakjelasan tupoksi masing-masing SKPD; (2) Tiap-tiap SKPD belum mengoptimalkan kapabilitasnya dalam menjalankan tupoksinya masing-masing; (3) Adanya “maksud lain” ketika melaksanakan peran dalam sebuah SKDP, dalam hal ini berburu anggaran utuk sebuah urusan.
Dalam menangani berbagai masalah berkaitan dengan kepentingan umum semacam ini, Islam menawarkan strategi yang dilandasi kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusinya. Kenyataannya, semua orang yang memiliki kepentingan memang menginginkan kecepatan dan kesempurnaan pelayanan. Rasulullah pernah bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal…” (H.R. Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut, maka jelaslah Islam memerintahkan para pengatur kepentingan umum untuk melaksanakan pekerjaan dengan ihsan (kebaikan, kesempurnaan). Jika dikaitkan dengan konteks kepentingan umum di Sumedang, untuk merealisasikan kebaikan/kesempurnaan pekerjaan, tiap-tiap SKPD sudah seharusnya menghindari strategi administrasi yang membuat rumit aturan dan memperlambat pelayanan terhadap masyarakat. Salah satunya adalah dengan mempertegas tupoksi masing-masing SKPD, sehingga bisa diketahui hak-hak dan kewajiban sebuah SKPD dalam mengelola suatu urusan masyarakat. Jika hak dan kewajiban sudah dipahami, satu SKPD tinggal menjalankan tugas dan fungsinya. Ini juga berarti, satu SKPD tidak perlu berdebat dengan SKPD lain ketika bertemu dalam satu urusan yang sama. Dalam kasus pendataan penduduk untuk keperluan Pilkada 2008 misalnya, salah satu pihak (Disnakerduk atau BKB) tidak perlu mendebat pihak lainnya, jika memang masing-masing telah mengetahui mana hak dan kewajibannya, dan mana saja yang bukan hak dan kewajibannya. Jika tupoksi setiap SKPD telah dipertegas batas-batasnya, sehingga tidak perlu lagi ada perdebatan tentang hal itu, pelayanan tentu akan lebih lancar didapat oleh masyarakat. Ini untuk mengatasi kemungkinan pertama.
Untuk mengatasi kemungkinan yang kedua, Islam menuntut agar suatu pekerjaan ditangani orang yang mampu dan profesional. Karena itu, penempatan orang-orang dalam sebuah SKPD haruslah mempertimbangkan segi kapabilitas yang sesuai dengan bidang kerja SKPD tersebut. Dalam Disnakerduk misalnya, tentu saja yang ditempatkan di dalamnya adalah tenaga-tanaga yang mengerti dan mampu mengatasi masalah-masalah kependudukan. Tidak hanya itu, tenaga-tenaga yang memiliki kapabilitas tersebut juga dituntut untuk profesional. Artinya, loyalitas terhadap bidang kerja dalam sebuah SKPD benar-benar dituntut untuk menunjang keberlangsungan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD tersebut.
Adapun untuk mengatasi kemungkinan ketiga, perlu diperhatikan motif-motif yang mendorong para pgawai untuk menggeluti perannya dalam sebuah SKPD. Mengacu pada sabda Rasul tadi, optimalisasi peran dalam sebuah SKPD seharusnya dilakukan dalam kerangka mempermudah dan mempercepat pelayanan terhadap masyarakat. Perintah dari Rasul untuk mempermudah dan mempercepat pelayanan dalam sebuah urusan, inilah motif yang sedapat mungkin ditanamkan dalam sebuah SKPD. Bukan motif untuk mendapat keuntungan ketika mengelola urusan masyarakat.
Demikianlah Islam sebagai aturan yang turun dari Allah SWT bisa menyelesaikan berbagai problematika termasuk dalam masalah administrasi pemerintahan, pusat maupun daerah. Ini akan berjalan ketika syari’at Islam diterapkan di tengah-tengah masyarakat dengan jalan menegakkan Khilafah Islamiyah.
Terjadinya kesemrawutan administrasi pemerintahan sebagaimana yang terjadi diatas adalah sebagian kecil dan cerminan dari realitas kehidupan saat ini. Di mana lagi kita temukan pelayanan optimal kalau bukan dalam Islam?! Wallahu a’alam bish shawab.
(LS - HTI Daerah Sumedang)

Thursday, September 14, 2006

Official Pramuka Jamnas 2006
Antusias Kunjungi Stand Hizbut Tahrir



Sumedang- (HTI Press). *Membuka Posko HTI di arena Jambore Nasional

(Jamnas) merupakan momen yang sangat penting. Kita tidak keliling
Indonesia tetapi didatangi oleh orang-orang yang berasal dari berbagai
daerah di Indonesia. Dalam kesempatan Jamnas 2006 di Kiara Payung,
Sumedang Jawa Barat pada 16 ?23 Juli lalu, HTI membuka posko di Halaman
Masjid Al-Falah Kiarapayung.


Apresiasi pengunjung Posko HTI, cukup baik. ?Penegakkan Syariat Islam,

Yes!? ujar Abdurrahman dan Saeful, /Official/ dari Nusa Tenggara Barat,
ketika dimintai pendapatnya tentang penerapan syariat Islam. Hal senada
pun terucap oleh para /official /dari daerah lainnya seperti Papua,
Kalimantan, Sulawesi dan Aceh. Offical Pramuka asal Tasik merasa dibina
oleh HTI karena selalu berdiskusi usai shalat di Masjid Al-Falah,
membahas seputar syariat Islam bersama syabab yang sedang bertugas
menjaga posko. Tidak sedikit diantara para pengunjung usai berdiskusi
kemudian membeli buku-buku yang berkaitan dengan penegakan syariat dan
perjuangan HT.


Pada malam Ahad, hari terakhir Jamnas, HTI memutar film dokumenter Islam

dari pukul 20.00 ? 00.00 WIB. Salah seorang /Official /Kab. Siak ? Riau,
bahkan sampai memborong semua VCD yang ada di posko, diantaranya adalah
VCD /Profil HTI, Daulah Islam, Metode Al-Qur?an Mencerdaskan Akal./ Ia
baru kali ini mendengar ada HTI, ia pun siap segera menghubungi alamat
HTI di Pekan Baru, Riau setelah kembali ke Siak. Begitu pula dengan
Bapak Abdurrahman panitia asal Kupang, meskipun sudah berumur di atas 50
tahun, ia sangat bersemangat berdiskusi sejak ba?da Zhuhur hingga
menjelang Maghrib. Ia pun membeli buku /Peraturan Hidup dalam Islam/.
Deden Saepudin, Koordinator Posko HTI Kiarapayung segera menunjukkan
alamat HTI di Kupang dan Mataram kepada Abdurrahman, ketika ia
menanyakan harus menghubungi siapa setelah kembali ke Nusa Tenggara
Barat nanti. Posko pun memfasilitasi para pengunjung yang ingin
menginfakkan sebagian hartanya untuk korban gempa dan tsunami di
Pangandaran, Jawa Barat dan sekitarnya.


Salah seorang /official /dari Aceh mengatakan, ?Bukan orang Islam yang

tidak setuju dengan penerapan syariat Islam?. Ia pun memberikan saran,
mestinya HTI membuka posko di setiap masjid pada Jamnas ini, agar lebih
banyak lagi orang yang terkontak untuk mensosialisasikan kewajiban
menegakkan syariat Islam. (Lajnah I?lamiah HTI Sumedang)