Lajnah Siyasah HTI Sumedang

Saturday, October 07, 2006

Ramadhan Bulan Penyucian Diri;
Batu Pijakan Untuk Kembali Pada Syari’ah dan Khilafah


Ramadhan adalah detik-detik tazkiyah an-nafs atau penyucian diri bagi kaum Muslim di setiap pelosok dunia, tidak terkecuali Indonesia. Selama bulan tersebut Allah SWT menyelimuti kaum Muslim dengan segala keberkahan. Tidak mengherankan jika setiap bulan Ramadhan kaum Muslim begitu bersemangat berlomba-lomba melakukan berbagai macam ibadah secara lebih intensif dari bulan-bulan lainnya.

Semestinya hajatan massal penyucian diri selama Ramadhan menjadi fondasi untuk berpikir dan bertindak pada bulan-bulan sesudahnya. Hanya saja kenyataan berkata lain. Banyak individu muslim yang kembali aktivitas-aktivitas yang cenderung hedonistis. Lebih dari itu, kemaksiyatan-kemaksiyatan malah semakin menjadi-jadi dalam level kehidupan umum, baik secara sosial, politik, ekonomi, hukum, maupun budaya. Dalam pemerintahan misalnya, para pejabat pusat maupun daerah hanyut dalam zikir dan doa selama Ramadhan berlangsung. Namun, apakah zikir dan doa tersebut mampu mewarnai mereka ketika kembali ke kantor pemerintahan? Faktanya, berdasarkan data yang diolah Indonesia Corruption Watch (ICW) terungkap bahwa selama periode Januari-Agustus 2004 saja telah terjadi korupsi di kantor-kantor pemerintah, mulai dari pusat sampai daerah, hingga mencapai Rp 391.687 miliar.

Adapun dalam bidang lainnya, pergaulan bebas merajalela, perpolitikan cenderung oportunistis, riba semakin mengakar, kriminalitas semakin menggurita akibat penerapan hukum yang lemah, serta gaya hidup semakin jauh dari nilai-nilai Islam, seolah kemaksiyatan-kemaksiyatan tersebut menjadi pakaian sehari-hari masyarakat di negeri ini. Ironisnya, negeri ini mayoritas penduduknya adalah Muslim. Ternyata, Ramadhan yang hadir setiap tahun belum bisa dimanfaatkan untuk membawa perubahan mendasar dalam tubuh masyarakat. Sehingga, dalam banyak aspek kaum muslim di negeri ini belum bisa menyucikan diri dari berbagai kemaksiyatan.

Hakikat Menyucikan Diri

Walaupun telah populer, meredefinisi konsep penyucian diri masih relevan untuk dilakukan, mengingat masih ada kekeliruan di tengah-tengah kita dalam memahami konsep tersebut. Imbasnya, penyucian diri sering bersifat ritual-individualistis semata. Sementara itu, aktivitas ibadah yang bersifat umum seperti dalam bidang muamalah (sosial, ekonomi, hukum, politik, dan budaya) yang sewajibnya dilakukan seperti halnya shalat dan shaum, lebih banyak dikotori dengan kemaksiyatan.

Merujuk pada Al-Qur’an, ada beberapa pengertian dari tazkiyah an-nafs. Pertama, menyucikan diri dari kekufuran (TQS. Al-Jumuah: 2). Kedua, menyucikan diri dari keburukan-keburukan amal perbuatan dengan melakukan amal-amal salih (TQS. Al-Jumuah: 2). Ketiga, menjalankan ketaatan kepada Allah (TQS. Asy-Syam: 8). Menurut Al-Qurthubi, maksud dari ’orang yang menyucikan jiwa’ dalam ayat tersebut ialah siapa saja yang disucikan jiwanya oleh Allah dengan ketaatan pada-Nya. Keempat, bertobat dari dosa-dosa (TQS. Al-Kahfi: 74). Kelima, beriman sepenuhnya dan taat kepada Allah (TQS. Thaha: 76). Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa penyucian diri mencakup dua hal, yakni memurnikan keimanan kepada Allah dan taat kepada-Nya secara total. Totalitas dalam ketaatan inilah yang menjadi salah satu pilar penyucian diri.

Bersuci Di Bulan Ramadhan, Suci Di Bulan-Bulan Selanjutnya

Masalahnya, apakah konsep penyucian diri dapat terwujud dalam negara sekuler seperti Indonesia saat ini? Jawabnya adalah mustahil. Karena dalam negara beriklim sekuler, kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus bebas dari agama. Akibatnya, kehidupan sosial, ekonomi, hukum, politik, dan budaya di negara ini malah menganut peraturan yang bersumber dari sekulerisme, bukan Islam. Lalu, bagaimanakah sikap kita seharusnya?

Hanya dengan menerapkan Syari’ah Islamlah konsep penyucian diri dapat diwujudkan secara nyata dalam kehidupan individu, bermasyarakat dan bernegara. Ini berarti, kita juga harus memberi kesempatan kepada Daulah Khilafah Islamiyah untuk kembali hadir di tengah-tengah masyarakat. Khilafahlah satu-satunya institusi politik yang mampu menerapkan Islam secara kaffah. Tanpa khilafah, Syari’ah Islam mustahil diterapkan sehingga berbagai kemaksiyatan akan terus menodai kita dengan dosa. Karena itu, mari kita manfaatkan momentum Ramadhan 1427 kali ini untuk menggapai tazkiyah an-nafs dalam berbagai sisi kehidupan, baik sekarang maupun di masa yang akan datang, dengan jalan melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Allahuakbar!
(Lajnah Siyasah HTI Sumedang)

0 comment(s):

Post a comment

<< Home