Lajnah Siyasah HTI Sumedang

Friday, September 22, 2006

Mewujudkan Jatinangor Sebagai Kawasan Pendidikan Berwawasan Syari’ah

Oleh : Sukma Sepriana


Sebagai kawasan pendidikan, Kecamatan Jatinangor merupakan daerah yang memiliki tingkat keragaman penduduk yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena banyaknya mahasiswa pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan negeri tetangga untuk menuntut ilmu. Realitas ini menjadikan Jatinangor sebagai tempat yang sangat potensial untuk terjadinya asimilasi antar kebudayaan.
Di sisi lain, kondisi ini justru memicu sikap permisif penduduk asli terhadap pergeseran nilai sosio-kultural setempat meski bertentangan dengan nilai-nilai agama, yang kemudian turut andil dalam menumbuh-kembangkan pola hidup hedonistik yang diperankan oleh sebagian kalangan mahasiswa.
Sebagai contoh, di Jatinangor pada saat ini akan sangat mudah menemukan perbuatan mesum –seperti berpelukan atau berciuman– di tempat umum yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi non-muhrim, tanpa ada orang yang berani menegur untuk melarang atau sekedar mengingatkan. Berdasarkan perspektif Islam, hal ini adalah suatu kemaksiatan. Dan celakanya, kemaksiatan ini dilakukan secara demonstratif oleh mereka yang menyandang gelar sebagai kaum intelektual.
Tentu saja, kondisi seperti ini bukanlah suatu cerminan yang baik bagi lingkungan pendidikan. Nuansa akademis yang seharusnya terasa kental seolah hilang ditelan gaya hidup penuh kebebasan yang dipromosikan oleh para pelaku akademis itu sendiri. Sehingga tidak aneh jika begitu banyak mahasiswa yang lebih memilih untuk bersenang-senang ketimbang mengakrabi buku pelajaran atau terlibat aktif dalam sebuah kelompok belajar. Karena suasana kondusif yang mendukung kegiatan akademis memang sulit untuk diwujudkan.
Untuk mendapatkan solusi komprehensif dari permasalahan ini, mari kita klasifikasikan penyebab masalahnya berdasarkan tiga aspek, yaitu individu, kelompok masyarakat, dan perangkat hukum.
Aspek yang pertama menyangkut individu. Ini berkaitan dengan kesadaran dari masing-masing individu untuk memosisikan dirinya secara proporsional di tengah masyarakat. Artinya setiap individu yang merupakan anggota masyarakat Jatinangor, baik pendatang maupun penduduk asli, dituntut untuk menyesuaikan perilakunya dengan standar nilai-nilai religi. Kesadaran individu inilah yang akan mendorong penampakan moralitas seseorang.
Rendahnya kesadaran pada individu masyarakat Jatinangor, terutama kalangan mahasiswa, sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku buruk yang bertentangan dengan norma agama. Selanjutnya, secara kolektif, perilaku tersebut menjadi suatu keumuman di masyarakat dan dianggap sebagai suatu hal yang lazim untuk dilakukan.
Kemudian aspek yang kedua, kelompok masyarakat. Yang dimaksud dengan kelompok masyarakat di sini ialah sebagian atau keseluruhan anggota masyarakat. Setiap anggota masyarakat yang memiliki kesadaran pada tingkat individunya harus mampu melakukan kontrol terhadap anggota masyarakat lainnya yang menyimpang dari standar nilai di atas.
Di Jatinangor, situasi seperti ini sulit sekali ditemukan karena aspek kesadaran individu yang bermasalah. Selain itu ada faktor yang mempengaruhi keberanian masyarakat untuk melakukan kontrol sosial, yaitu aspek ketiga, berkaitan dengan perangkat hukum.
Ketiadaan perangkat hukum yang terdiri dari peraturan dan sanksi tegas merupakan faktor dominan yang membuat masalah ini semakin kompleks dan berlarut-larut. Padahal keberadaan peraturan dalam hal ini sangat penting untuk mencegah pelanggaran terhadap tata nilai baku yang bersumber dari Sang Pencipta. Pada saat yang sama juga dibutuhkan sanksi untuk menghukum para pelanggar agar jera sekaligus memberi pelajaran kepada anggota masyarakat lain agar tidak mengulang pelanggaran yang sama.
Karena tidak adanya perangkat hukum, individu dengan kesadaran minim semakin merasa bebas untuk melakukan keinginannya seraya meninggalkan kewajibannya sebagai penuntut ilmu. Demikian pula halnya dengan kelompok masyarakat, yang enggan melakukan fungsi kontrol sosialnya semata-mata karena merasa tidak memiliki legalitas formal untuk menunaikannya.
Ketiga aspek masalah ini saling terkait. Oleh karena itu setiap upaya penyelesaian haruslah berorientasi pada ketiga aspek ini. Pada tataran individu, perlu diberikan pemahaman yang benar terhadap nilai-nilai agama sehingga terbentuk kesadaran dari masing-masing individu untuk berperilaku sesuai dengan standar religi.
Pada tataran masyarakat, perlu dibentuk pola kebiasaan saling mengingatkan dalam rangka ketaatan pada nilai-nilai agama. Dan pada tataran hukum, diperlukan formalisasi sistem hukum dan sanksi yang juga berbasis pada standar religi. Adanya perangkat hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat ini akan senantiasa mendorong terwujudnya kesadaran pada tataran individu serta mendukung pelaksanaan fungsi kontrol dalam masyarakat.
Hanya saja, jika memang harus ada suatu formalisasi perangkat hukum yang berstandar pada nilai agama, maka agama apa yang harus dijadikan acuan ?. Untuk menjawabnya, ada dua realitas berkenaan dengan masyarakat dan agama. Pertama, bahwa mayoritas penduduk Jatinangor, Sumedang, bahkan Indonesia, beragama Islam. Akidah Islam menuntut pemeluknya untuk melaksanakan aturan Islam di semua lini kehidupan, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, bahwa Islam sebagai ideologi tidak hanya mengatur hubungan vertikal manusia dengan Sang Khalik, tapi juga memiliki syari’ah yang mengatur interaksi antar manusia dalam kehidupan. Terlebih lagi Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum yang meliputi ilmu sosial, sains dan teknologi. Oleh sebab itu, maka wajarlah apabila syari’ah Islam menjadi sandaran bagi kebijakan untuk mewujudkan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan yang kondusif, bernuansa akademis dan religius.
Akhirnya, diperlukan keseriusan semua pihak untuk merealisasikan konsep Jatinangor yang bercitra kawasan pendidikan berwawasan syari’ah. Aparat pemerintahan dan segenap anggota masyarakat Jatinangor perlu bahu-membahu untuk menjadikan daerah ini sebagai pusat penggemblengan generasi-generasi masa depan yang cerdas dan berkepribadian Islam. Bersama kita bisa, insyaAllah !.
Penulis adalah Mahasiswa Muslim Universitas Padjadjaran dan Ketua Lajnah Maslahiyah HTI Daerah Sumedang

0 comment(s):

Post a comment

<< Home