Lajnah Siyasah HTI Sumedang

Saturday, September 23, 2006

Gerakan Islam dan Dinamika Masjid Kampus
Oleh DENNY KODRAT *

TULISAN Sudarmono Sasmono (SS) yang dimuat di harian ini Jumat (8/9) patut untuk dicermati. Setidaknya ada beberapa poin yang perlu ditanggapi di sini. Pertama, SS menyatakan bahwa pemikiran Islam Timur Tengah yang dibawa oleh pergerakan Islam seperti Hizbut Tahrir (HT) dan Ikhwanul Muslimin (IM) telah mengooptasi aktivis masjid kampus. Dengan hanya mengambil dua contoh gerakan Islam (harakah islamiyah) an sich, untuk menjelaskan kompleksitas realitas gerakan Islam dan dinamika aktivis masjid kampus, cenderung akan terjebak pada ”fallacy of generalization” atau kekeliruan dalam generalisasi.


Kedua, SS menyebutkan bahwa pengaruh gerakan Islam tersebut telah mengubah warna keberagamaan menjadi "hitam putih". Fikih bukan lagi menjadi sesuatu yang bersifat bebas, melainkan tunggal dan terikat. Hal ini yang mengakibatkan lahirnya sikap intoleransi, rigiditas dalam kehidupan, kaku, sikap mudah memfasikkan bahkan mengkafirkan orang yang berbeda sistem nilainya (paragrap 11).

Ketiga, SS menegaskan dalam bagian penutup tulisannya bahwa masjid menjadi entry point perekrutan anggota kelompok Islam garis keras sekaligus berpemikiran sesat (teroris?), disamping masjid menjadi eksklusif dan hanya terbuka bagi Muslimah yang berjilbab dan dapat membaca Alquran, tapi tidak bagi yang lainnya.

Sebagai seorang yang pernah menjadi aktivis dakwah kampus dan aktif dalam salah satu gerakan Islam yang disebut oleh SS, maka saya berkewajiban memberikan beberapa pandangan untuk meluruskan beberapa pernyataan SS.
Arus utama gerakan Islam

Kemunculan gerakan Islam di dunia Islam sejatinya merupakan respons aktif dari tuntutan Allah Swt, sebagaimana yang termaktub dalam surah Ali Imran ayat 104. Dalam ayat tersebut Allah Swt menyatakan, "Dan hendaklah ada sekelompok orang di antara kalian yang menyeru kepada al khair (Islam), menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar" Ayat inilah yang banyak digunakan sebagai landasan berdirinya gerakan Islam. Artinya, keruntuhan khilafah Islam bukanlah pemicu munculnya gerakan Islam, melainkan realitas bahwa umat Islam tidak memiliki lagi kekuatan berbentuk negara (daulah) untuk menangani berbagai urusan-urusan publiknya.

Eksistensi dan pengaruh gerakan Islam Timur Tengah sebaiknya disikapi secara positif oleh siapa pun, khususnya publik muslim, mengingat tujuan keberadaannya pun dapat dianggap mulia (sesuai tuntutan surah Ali Imran 104). Publik muslim secara nyata masih tidak berdaya menghadapi berbagai persoalan, baik yang berhubungan dengan hubungan sosial, ekonomi dan politik, serta belum menjadikan cara pandang Islam sebagai landasannya. Singkatnya, ia masih terkalahkan oleh hegemoni ide dan konsep Barat. Tuntutan untuk bangkit hanya menjadi retorika, karena tidak didukung oleh keinginan elite politiknya.

Oleh karena itu, pengaruh gerakan Islam sangatlah signifikan untuk menghapus kejumudan yang sudah lebih dari delapan puluh tahun, pasca runtuhnya Khilafah Utsmani (1924). Umat ini larut dalam stagnansi intelektual dan politik. Kita seharusnya jangan sempit memaknai keberadaan gerakan Islam, apalagi sampai terjebak dengan ego nasionalisme sempit dengan mempermasalahkan negeri asal berdirinya gerakan tersebut. Melainkan kita lebih melihat dari sisi ide dan konsep apa yang dibawanya untuk memajukan Islam dan umatnya.

Secara jujur harus kita katakan bahwa organisasi-organisasi Islam yang muncul di Indonesia sesungguhnya dipengaruhi oleh ide-ide gerakan Islam luar. Nahdlatul Ulama (NU) misalnya dipengaruhi oleh pemikiran Syekh Jamaludin Al Afghani dengan naqsabandiyah-nya. Persis dan Muhammadiyah pun sama banyak terpengaruh oleh pemikiran syekh Muhammad Abduh. Setidaknya, mereka mengikuti mazhab imam besar yang notabene berasal dari Timur Tengah. Oleh karena itu, janganlah kita terjebak dengan konsep "pribumisasi Islam" ala Gus Dur atau "Islam kontekstual" yang pernah digulirkan oleh (alm) Cak Nur, yang berakibat pada pecahnya umat Islam. Lebih jauh, sikap membeda-bedakan Islam dari Timur Tengah atau "Islam Indonesia", mirip sekali propaganda yang diutarakan George W. Bush baru-baru ini, dengan istilah "Fasis Islam".

Secara bijak seharusnya kita mengatakan bahwa gerakan Islam memiliki fungsi sebagai dinamisator para aktivis masjid, bila tidak mau disebut "kompetitor". Tentu saja dalam konteks ini, kompetitor untuk fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Ya, kompetitor dalam menyemarakkan masjid, syiar dan dakwah Islam. Tidak hanya itu, gerakan Islam merupakan aset umat dalam upaya mengubah masyarakat yang sekarang ini bias memahami mana yang haq dan yang batil.

SS sepertinya secara kurang representatif menjadikan HT dan IM-yang berevolusi menjadi PKS-sebagai contoh gerakan Islam yang turut mewarnai dakwah kampus. Sebagai seorang yang saat menjadi aktivis dakwah kampus menjadi bagian dari HT serta didukung oleh dokumen resmi, dapat saya katakan bahwa gerakan ini murni mengembangkan pendekatan intelektual dan tanpa kekerasan. Tujuannya adalah menjadikan Islam sebagai tolok ukur perbuatan (miqyasul amal) dan membentuk mahasiswa yang berkepribadian Islam. Bahwa kemudian sempat terjadi "pergesekan" dengan gerakan Islam lain, itu adalah suatu proses pendewasaan untuk memaknai keberagamaan pemikiran. Sama sekali tidak memunculkan permusuhan dan perpecahan.

Ukhuwwah Islamiyyah tetap terjaga. Aksi solidaritas menentang penyerangan Lebanon atau pornografi dilakukan secara bersama-sama dari hampir seluruh gerakan Islam, tanpa melihat simbol dan atribut seragam gerakan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa SS lebih melihat dinamika gerakan Islam lebih secara artifisial dan permukaan, tidak secara mendalam.
Ungkapan SS tentang memfasikkan, mengkafirkan, serta menciptakan kader garis keras perlu diklarifikasi lebih lanjut. Mengingat HT sempat dijadikan salah satu contohnya, disampaikan bahwa HT tidak mengenal istilah memfasikkan apalagi mengkafirkan umat Islam--yang tidak bergabung dengan HT. Malah sebaliknya, HT terus menjalin kontak dan ukhuwah dengan masyarakat dari berbagai macam level. Oleh karena itu, penjelasan SS kurang memiliki relevansi.

Bahwa kemudian ada satu atau dua gerakan Islam yang memiliki pemahaman yang disebutkan SS, sebaiknya disebutkan nama gerakan tersebut (dengan bukti dan referensi yang akurat), untuk menghindari disinformasi dan fitnah. Bila kemudian tidak disebutkan nama organisasinya, maka dapat dikatakan SS telah melakukan stigmatisasi dan hantam kromo terhadap gerakan Islam, yang tidak sedikit memiliki tujuan yang mulia. Naudzubillah min dzalik.
Saat ini umat Islam harus memiliki pemikiran yang terbuka dalam memahami eksistensi gerakan Islam. Sudah bukan saatnya lagi alergi, phobi atau bersikap tertutup terhadap realitas gerakan Islam. Sangat ironis di saat musuh-musuh Islam bersatu untuk melemahkan umat, kita masih tidak bersatu. Gerakan Islam tidak selamanya sama dengan apa yang sering diidentikkan dengan kekerasan, radikalisme, pengkafiran, dll. Gerakan Islam sejatinya lebih ditujukan sebagai kontrol sosial, di samping sebagai corong dakwah untuk mencerdaskan masyarakat. Apabila ada gerakan Islam yang anarkis, menebar teror, dan mengkafirkan sesama muslim, maka kita harus cerdas dalam memahami eksistensi gerakan tersebut. Apakah kita tidak pernah belajar dengan politik adu domba yang pernah dipraktikan Ali Murtopo untuk mendiskreditkan aktivis Islam dengan kemunculan Jamaah Imron atau Komando Jihad?
Jika tidak ada gerakan Islam, mau bagaimana negeri ini. Di saat penguasanya melakukan korupsi, kezaliman, kemaksiatan, dan mengabaikan hak-hak publik, masyarakat diam. Tidak ada yang melakukan amar makruf nahi munkar. Apabila dibiarkan, kita tinggal menunggu azab Allah Swt.

Kampanye untuk kembali kepada Islam dan syariahnya tidak lebih dari satu upaya untuk membangun bangsa yang mandiri dan kehidupan yang baik. Hal ini dikarenakan segala problematika yang muncul baik disebabkan krisis ekonomi, politik, dan sosial, lebih dikarenakan kejahatan moral. Yang mampu mengendalikan sikap dan perbuatan mereka kembali lagi kepada kesadaran beragama (spiritual awareness). Oleh karena itu, bangsa ini tidak hanya cukup memiliki pemimpin dan aparat hukum yang cerdas, melainkan mereka harus saleh. Inilah salah satu tujuan gerakan Islam dengan menjadikan pembinaan (tastqif) terhadap kader dan masyarakat untuk melahirkan calon-calon pemimpin yang shalih dan cerdas. Tentu saja untuk kepentingan semua, bukan untuk kepentingan gerakan Islam. Wallahu'alam bishawwab


*Penulis, Ketua Lajnah Siyasiyah DPD Hizbut Tahrir Indonesia Jawa Barat dan pernah menjadi aktivis dakwah kampus tahun 1998-2004.

0 comment(s):

Post a comment

<< Home