Lajnah Siyasah HTI Sumedang

Sunday, December 25, 2005

Para Petani Tembakau di Sumedang Terpuruk Sejumlah Petani Terpaksa Beralih Profesi

Sumedang, Petani tembakau Desa Pasinggaran, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Sumedang, semakin terpuruk. Ini karena naiknya harga bahan bakar minyak yang tidak dibarengi naiknya harga penjualan daun tembakau rajangan. Sejumlah petani memilih menjadi petani padi karena ongkos tanam yang lebih murah.

Berdasarkan keterangan dari beberapa petani tembakau, Senin (19/12), kenaikan harga BBM ternyata berimbas secara cepat dan tiba-tiba. Padahal, saat ini, mereka masih harus bersaing dengan produsen tembakau dari daerah lain yang masuk ke Jawa Barat dengan modal yang lebih besar. Antara lain, Semarang dan Temanggung.

Endang, petani setempat, mengatakan, saat ini untuk membiayai lahan seluas 100 bata atau sekitar 150 meter persegi paling sedikit harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 1,5 juta atau lebih besar Rp 500.000 dari musim tanam sebelumnya. Padahal, hasil yang didapat tidak menunjukkan hasil yang lebih baik. Ditanami sekitar 2.000 batang tembakau, paling banyak mendapatkan keuntungan sebesar Rp 2 juta.

Menurut Endang, naiknya harga BBM berimbas pada biaya angkut pengambilan tembakau tambahan di Kadipaten, Majelengka. Saat ini, untuk satu kali pengiriman biasanya harus membawa empat pikul tembakau dengan harga per pikulnya sebesar Rp 32.000. Belum lagi dengan biaya ongkos per orang sebesar Rp 6.000. Padahal sebelumnya, harga per pikul hanya Rp 20.000 dengan biaya ongkos Rp 1.500 per orang.

”Sekarang untuk ongkos angkutan saja bisa habis sekitar Rp 300.000. Padahal, sebelumnya, paling banyak hanya menghabiskan Rp 150.000 per sekali pengangkutan. Belum lagi kalau harus beli pupuk jenis NPK. Saat ini harga per kilogram NPK sebesar Rp 4.500. Padahal sebelumnya hanya Rp 3.500 per kilogram,” kata Endang.
Beralih profesi

Selain itu, proses produksi juga ikut terhambat karena hujan yang mulai turun. Apabila terkena air hujan, daun tembakau akan menguning dan lama kelamaan akan busuk karena sering terkena air. Bahkan, kerap sebelum dijemur, daun tembakau sudah busuk terlebih dahulu. Kalau hal itu telah terjadi, biasanya omzet yang sudah tipis akan semakin berkurang.
Kondisi ini membuat gerah beberapa petani tembakau. Bahkan, beberapa orang di antara mereka memilih beralih profesi menjadi petani padi dengan alasan ongkos tanam yang lebih murah. Padahal, mereka tahu, dari segi pendapatan akhir, bertani tembakau menghasilkan untung yang lebih besar.

”Kalau dari biaya awal mungkin lebih mahal, tapi hasil lebih besar akan
terlihat bila panen tiba. Dari sawah biasanya hanya bisa dihasilkan Rp 750.000 per sekali panen. Sedangkan dari tembakau bisa mendapatkan keuntungan sebanyak dua juta rupiah,” kata Cicih, petani lainnya.

Tembakau Pasinggiran biasa dipasarkan ke daerah, seperti Sumatera Selatan, Riau, Medan, Garut, dan Tasikmalaya.

Sumber : Harian KOMPAS edisi 20 Desember 2005

Tanggapan:

Beginilah yang terjadi kalau sistem Islam tidak diterapkan.
"Dan barang siapa berpaling dari peringatanku maka sungguh baginya kehidupan yang sempit." (TQ. Al-Qur'an)

0 comment(s):

Post a comment

<< Home